Selamat Datang di KUA Kec. Rajeg Kab. Tangerang -- KUA KEREN -- Komunikatif -- Enerjik -- Responsif -- Edukatif -- Normatif -- PASTIKAN Nikah Anda Tercatat di KUA Kec. Rajeg -- PASTIKAN Masjid dan Mushola di Wilayah Anda Memiliki Nomor Identitas Nasional -- PASTIKAN Tanah Wakaf Memiliki AIW -- Segera Daftarkan di KUA Kec. Rajeg

Sejarah KUA

Pada tahun 1943 Pemerintah Jepang di Indonesia mendirikan Kantor Shumubu (KUA) di Jakarta. Saat itu yang ditunjuk sebagai Kepala Shumubu untuk wilayah Jawa dan Madura adalah KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri Ormas Islam Nahdlatul Ulama) yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Dalam pelaksanaan tugasnya, KH. Hasyim Asy’ari menyerahkan kepada puteranya KH. Wahid Hasyim sampai dengan akhir pendudukan Jepang pada bulan Agustus 1945. Setelah merdeka, Menteri Agama pertama, H. M. Rasjidi mengeluarkan Maklumat No. 2 tanggal 23 April 1946. Di dalam maklumatnya dinyatakan bahwa semua lembaga keagamaan ditempatkan di dalam Kementerian Agama.

Kelahiran Kementerian Agama adalah sebuah perjuangan yang tidak bisa dipisahkan dengan dinamika perjuangan bangsa Indonesia. Pada saat bangsa ini berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamirkan, maka lahirlah Kementerian Agama. Pembentukan Kementerian Agama tersebut selain untuk menjalankan tugasnya sebagai penanggugjawab realisasi Pembukaan UUD 1945 dan pelaksanaan pasal 29 UUD 1945, juga sebagai pengukuhan dan peningkatan status Shumubu (Kantor Urusan Agama Tingkat Pusat) pada masa penjajahan Jepang. Berdirinya Kementerian Agama disahkan berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor: I/SD tanggal 3 Januari 1946 bertepatan dengan 2 Muharram 1364 H. Menteri Agama pertama adalah HM. Rasyidi, BA. Sejak itu dimulailah penataan struktur di lingkungan Kementerian Agama. Pada tahap ini, Menteri Agama HM. Rasyidi mengambil alih beberapa tugas untuk dimasukkan dalam lingkungan Departemen Agama.

Tugas pokok Departemen Agama waktu itu ditetapkan berdasarkan Penetapan Pemerintah Nomor: 5/SD tanggal 25 Maret 1946 dan Maklumat Pemerintah Nomor 2 tanggal 24 April 1946 yang menyatakan bahwa tugas pokok Kementerian Agama adalah: menampung urusan Mahkamah Islam Tinggi yang sebelumnya menjadi wewenang Departemen Kehakiman dan menampung tugas dan hak mengangkat Penghulu Landraat, Penghulu Anggota Pengadilan Agama, serta Penghulu Masjid dan para pegawainya yang sebelumnya menjadi wewenang dan hak Presiden dan Bupati. Disamping pengalihan tugas di atas, Menteri Agama mengeluarkan Maklumat Menteri Agama Nomor 2 tanggal 23 April 1946 yang menyatakan, bahwa:

Pertama, instansi yang mengurus persoalan keagamaan di daerah atau SHUMUKA (tingkat Keresidenan) yang di masa pendudukan Jepang termasuk dalam kekuasaan Residen menjadi Djawatan Agama Daerah yang berada di bawah wewenang Kementerian Agama.

Kedua, Pengangkatan Penghulu Landraat (Penghulu pada Pengadilan Agama) Ketua dan Anggota Raad (Pengadilan) Agama yang menjadi hak Residen dialihkan menjadi hak Kementerian Agama.

Ketiga, Pengangkatan Penghulu Masjid yang berada di bawah wewenang Bupati dialihkan menjadi wewenang Kementerian Agama. Sebelum maklumat Menteri Agama dilaksanakan secara efektif, kelembagaan pengurusan agama didaerah berjalan sesuai dengan keadaan dan kebutuhan. Sejak jaman penjajahan, perangkat organisasi kelembagaan yang mengurus agama yang telah tersebar ke seluruh plosok tanah air, hingga tingkat kecamatan bahkan sampai desa. Perangkat ini bekerja sebagai tenaga sukarelawan (bukan pegawai negeri). Pejabat yang melayani umat Islam, khususnya yang berkaitan dengan nikah, talak, rujuk, kemasjidan/perwakafan, di tingkat Kabupaten dijabat oleh Penghulu, di tingkat Kawedanan dan Kecamatan dijabat oleh Naib Penghulu. Selanjutnya ditetapkan Peraturan Menteri Agama Nomor 188 5/K.I Tahun 1946 tanggal 20 November 1946 tentang Susunan Kementerian Agama. Pada tahap awal struktur organisasi Departemen Agama sangat sederhana yakni hanya berada di tingkat pusat yang berdiri dari 8 bagian yaitu: Bagian A (Sekertariat); Bagian B (Kepenghuluan); Bagian C (Pendidikan Agama); Bagian D (Penerangan Agama); Bagian E (Masehi Kristen); Bagian F (Masehi Katolik); Bagian G (Pegawai); Bagian H (Keuangan/Perbendaharaan).

Pada tahun 1947, setelah diberlakukan Undang-undang Nomor 22 tahun 1946 tentang Pencatatan, Nikah, Talak, dan Rujuk, jabatan kepenghuluan dan kemasjidan diangkat menjadi pegawai negeri. Pejabat Raad Agama, yang semula terangkap fungsinya oleh Penghulu, setelah diberlakukanya Undang-Undang tersebut diangkat tersendiri oleh Kementerian Agama. Petugas yang mengurusi agama di Desa, khususnya dalam hal pernikahan dan kematian (yang di wilayah Jawa bisa disebut dengan modin) diterbitkan dan diatur tersediri melalui Maklumat Bersama Nomor 3 tahun 1947, tertanggal 30 April, yang ditandatangani Menteri Dalam Negeri Mr. Moh. Roem dan Menteri Agama KH. R. Fathurrahman Kafrawi. Melalui Maklumat tersebut para modin memiliki hak dan kewajiban berkenaan dengan peraturan masalah keagamaan di Desa, yang kedudukannya setaraf dengan pamong di tingkat pemerintah Desa. Sebagaimana pamong yang lain mereka diberi imbalan jasa berupa hak menggarap (mengelola) Tanah Bengkok Milik Desa. Sejak awal berdirinya Departemen Agama hingga tahun 1950-an, stabilitas politik belum dapat berjalan dengan baik. Pihak Belanda dan Sekutu tidak rela Indonesia merdeka. Dua kali aksi militer dilancarkan: Pertama, tanggal 21 Juli 1947 dan kedua tanggal 19 Desember 1948. Kabinet yang dibentuk Pemerintah Republik Indonesia rata-rata berumur pendek, karena silih bergantinya kabinet system parlementer. Dalam situasi perang (karena aksi militer), penataan kantor Agama di daerah jelas terganggu. Di berbagai daerah, kantor Agama berpindah-pindah, dari daerah yang di duduki Belanda ke daerah yang secara de facto masih dikuasai oleh pemerintah Republik Indonesia. Saat itu Pemerintah Agama menginstruksikan bahwa dalam 25 menghadapi perang melawan colonial Belanda, setiap aparat Kementerian Agama diharuskan turut serta berjuang mempertahankan Negara Republik Indonesia. Karena alasan itu pula, selama terjadi peperangan tersebut, pengiriman jama’ah haji sempat dihentikan.

Struktur Kantor Agama (1949) di atas terus berlangsung hingga terjadi penyempurnaan struktur berdasarkan PP Nomor 33 Tahun 1949 dan PP Nomor 8 tahun 1950 tentang Susunan Organisasi Kementerian Agama. Sejak itu struktur Departemen Agama mengalami perubahan sebagai berikut:

a. Tingkat pusat dengan susunan Organisasi sebagai berikut:

  1. Menteri Agama;
  2. Secretariat Jenderal yang terdiri dari: Bagian Sekertariat; Bagian Kepenghuluan; Bagian Pendidikan; Bagian Keuangan/Perbendaharaan;

b. Tingkat Daerah dengan susunan organisasi sebagai berikut:

  1. Kantor Agama Provinsi;
  2. Kantor Agama Kabupaten; 
  3. Kantor Kepenghuluan Kawedanan; 
  4. Kantor Kenaiban Kecamatan.

Berdirinya Departemen Agama Republik Indonesia, tepatnya pada tanggal 3 Januari 1946. yang tertuang dalam Penetapan Pemerintah No.1/SD tahun 1946 tentang Pembentukan Kementerian Agama, dengan tujuan Pembangunan Nasional yang merupakan pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, agama dapat menjadi landasan moral dan etika bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan pemahaman dan pengamalan agama secara benar diharapkan dapat mendukung terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, mandiri, berkualitas sehat jasmani rohani serta tercukupi kebutuhan material dan spiritualnya. Guna mewujudkan maksud tersebut, maka di daerah dibentuk suatu Kantor Agama. Sejak tahun 1948 hingga 1951, dibentuk Kantor Agama Provinsi, Kantor Agama Daerah (Tingkat Karesidenan) dan Kantor Kepenghuluan (Tingkat Kabupaten) yang merupakan perpanjangan tangan dari Kementerian Agama Pusat Bagian B, yaitu: Bidang Kepenghuluan, Kemasjidan, Wakaf dan Pengadilan Agama.

Dalam perkembangan selanjutnya dengan terbitnya Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 517 Tahun 2001 tentang penataan Organisasi Kantor Urusan Agama Kecamatan, maka Kantor Urusan Agama (KUA) berkedudukan di wilayah kecamatan dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota yang dikoordinasi oleh Kepala Seksi Urusan Agama Islam/Bimas dan Kelembagaan Agama Islam dan dipimpin oleh seorang Kepala, yang mempunyai tugas pokok melaksanakan sebagian tugas Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota di bidang Urusan Agama Islam dalam wilayah Kecamatan. Dengan demikian, eksistensi KUA Kecamatan sebagai institusi Pemerintah dapat diakui keberadaanya, karena memiliki landasan hukum yang kuat dan merupakan bagian dari struktur pemerintahan di tingkat Kecamatan.

Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan ujung tombak dari Kementerian Agama. KUA berkedudukan di Kecamatan, KUA dikomandoi oleh Kepala. Unit Pelayanan Teknis (UPT) inilah yang langsung bersentuhan dengan segenap hajat hidup umat beragama. maka Mereka tidak hanya terlibat dalam urusan yang terkait dengan tugas kantor, namun mereka pun harus bersiap untuk mengikuti dan melayani masyarakat dalam berbagai kegiatan keagamaan. Pelayanan KUA terhadap masyarakat ini terkait dengan peristiwa nikah, haji, zakat, dan kegiatan agama lainnya. Tak jarang dalam kegiatan yang terkait dengan tradisi masyarakat sekalipun, KUA ikut serta dan turun tangan dalam pelaksanaannya. Setidaknya memimpin doa dalam acara tersebut. Singkat kata, KUA melayani dalam segenap tetek bengek kehidupan masyarakat, dari hidup hingga mati. Berdasarkan PMA No. 34 tahun 2016, KUA mempunyai sembilan fungsi layanan kepada masyarakat.

  1. Pelaksanaan pelayanan, pengawasan, pencatatan, dan pelaporan nikah dan rujuk;
  2. Penyusunan statistik layanan dan bimbingan masyarakat Islam;
  3. Pengelolaan dokumentasi dan sistem informasi manajemen KUA Kecamatan;
  4. Pelayanan bimbingan keluarga sakinah;
  5. Pelayanan bimbingan kemasjidan;
  6. Pelayanan bimbingan hisab rukyat dan pembinaan syariah;
  7. Pelayanan bimbingan dan penerangan agama Islam;
  8. Pelayanan bimbingan zakat dan wakaf; dan
  9. Pelaksanaan ketatausahaan dan kerumahtanggaan KUA Kecamatan.

Share:

Postingan Populer